X-Steel - Alternate Select

Rahn (Gadai)

2.1      Pengrtian Rahn (gadai)
Secara etimologi, rahn berarti tetap dan lama yakni tetap berarti pengekangan dan keharusan. Sedangkan menurut istilah ialah penahanan terhadap suatu barang sehingga dapat dijadikan sbagai pembayaran dari barang tersebut. Akan tetapi menurut ulama hanafiyah Gadai secara istilah ialah mnjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ktika berhalangan dalam membayar utang. 
 
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,(al-mudatsir :38)



 2.2       Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahn) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang di berikan murtaqin kepada rahn adalah utang, bukan peenukar atas barang yang digadaikan.a
Rhan juga termasuk juga akad yang ainiyah yaitu dikatakan sempurna sesuadah
menyerahkan benda yang dijadikan akad, sperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan smpurna setelah memegang (al qabdu)

 2.3       Dasar Rahn (gadai)
  • Al Qur’an



Artinya :     Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.





2.4       Pendapat Ulama
Pendapat Pertama: Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Mazhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah). Ibnu Qudamah: berkata Ar-rahn tidaklah wajib. Kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya. Karena ia (Ar-rahn) adalah jaminan atas utang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban)” [Al Mughni 6/444]. Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan Ar-rahn dalam keadaan mukim sebagaimana disebutkan di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajib. Demikian juga karena Arrahn adalah jaminan utang sehingga tidak wajib seperti halnya Adh-Dhimaan (Jaminan Pertanggung jawaban) dan Al-Kitabah (penulisan perjanjian utang). Di samping itu, juga karena ini adanya kesulitan ketika harus melakukan penulisan perjanjian utang. Bila Al-Kitaabah tidak wajib, demikian juga penggantinya.
 Pendapat Kedua: Wajib dalam keadaan safar. Demikian pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah: “Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan ber-mu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Menurut mereka, kalimat “(maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang))” adalah berita yang rmaknanya perintah. Juga dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Semua syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, ia bathil walaupun seratus syarat.” [HR Al Bukhari]. Mereka mengatakan: Pensyaratan Ar-rahn dalam keadaan safar ada dalam Alquran dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim, sehingga ia tertolak. Pendapat ini dibantah, bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya: “Akan tetapi jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya)” [Al-Baqarah; 283]. Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah boleh (mubah) hingga ada larangan, dan di sini tidak terdapat adanya larangannya. [Abhats Hai’at Kibar Ulama 6/112-112]. Yang rojih adalah pendapat pertama, Wallahu A’lam.
                       
2.5       Hukum Rahn
Para ulam sepakat bahwa rahn di bolehkan, tetapi tidak diwajibkan sbab gadai hanya jaminan jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah diatas hanyalah irsad (anjuran baik saja) kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan, yang artinya “akan tetapi, jika sabagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya). (Q.S.Al baqarah :283).1
Hukum rahn secara umum terbagi dua yaitu: shahih dan ghair shahih (fasid). Rahn shahih adalah rahn yang memenuhi persyaratan. Sedangkan Rahn Fasid ialah rahn yang tidak memenuhi persyaratan tersebut.

2.6       Rukun-rukun Rahn (gadai) 
  1. Akad ijab dan qabul seperti seseorang berkata “aku gadaikan mejaku ini dengan harga Rp.10.000, dan yang satu lagi menjawab “aku terima gadai mejamu seharga Rp.10.000, atau bisa pula dilakukan selain dngan kata-kata, seperti dengan surat, isyarat atau yang lainnya. 
  2. Aqid, yaitu yang menggadaikan (rabin) dan yang menerima gadai (murtabin).  Adapun sarat yang berakad adalah ahli tasauf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai. 
  3. Barang yang diajadikan jaminan (borg) sarat pada benda yang dijadikan jaminan ialah keadaan barang itu tidak rusak sebelum janji uang harus dibayar. Rasul bersabda yang artinya :
Setiap barang yang boleh diperjual belikan boleh dijadikan borg gadai”.

Menurut Ahmad bin Hijazi bahwa yang dapat dijadikan jaminan dalam masalah gadai
ada tiga macam yaitu kesaksian, barang gadai dan barang tanggungan.2

2.7       Syarat Rahn
  • Aqid, kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al ahliyah yaitu orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayiz, tetapi tidak disyariatkan harus balig. Dengan demikian anak kecil yang sudah mumayiz dan orang yang bodoh berdasarkan ijin dari walinya dibolehkan melakukan rahn. 
  • Shighat, ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah. 
  •  Marhun bih (utang), yaitu haq yang diberikan ketika melaksanakan rahn. Dengan syarat berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan, utang harus lajim pada waktu akad, utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
 2.8       Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Yang digadaikan tersebut sekalipun rahin mengijinkannya. Karena hai ini termasuk kepada uatang yang dapat menarik manfaat, sehingga apabila dimanfaatkan termasuk riba, Rasul bersabda “ Setiap utang yang menarik manfaat adalah riba” (H.R. Harist bin Abi Usamah).
Menurut imam Ahmad, Ishaq, al laits dan al Hasan, jika barang gadai berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang yang dapat diambil susunya maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkan selama kendaraan atau binatang itu ada padanya. Rasul bersabda yang artinya :

Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaan apabila digadaikan, binatang
  
boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaanya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan meminumnya wajib membrikan biaya.” 
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan, sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti diatas punya kewajiban tambahan.

2.9       Riba dan Gadai
Perjanjian gadai pada dasarnya ialah perjanjian utang-piutang hanya saja dalam gadai ada jaminannya riba akan terjadi dalam gadai apabila dalam akad gadai ditentukan bahwa rabin harus memberikan tambahan kepada murtabin ketika membayar utangnyaatau ketika akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan.
Bila rabin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian marbin menjual marbun dengan tidak memberikan kelebihan harga marbun kepada rabin maka disini juga telah berlaku riba.

0 comments:

agus mulyadi. Powered by Blogger.

iklan