Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam
Aturan
perempuan dalam ranaj politik
di perspektif islam telah menjadi polemik. Hal ini menjadi sesuatu yang krusial
untuk didiskusikan antara individu yang membuatnya menjadi isuyang marginal dan
individual yang mana melegalkannya. Akar rumput pertama dari masalah ini dimengerti
mengenai surat Al-Quran surat An-Nissa (Q.S. 4/34) "Arrijalu Qawaamunna ala an-nisa bima fadhdhalallahu ba’dahum a’la
ba’dhin". sungguh,
ayat ini menjadi acuan bagi kasus sa''ad bin Abi Rabi dengan istrinya, Habibah
binti Zaid. Habibah telah nusyuz dan Sa''ad memberikan response yang kasar. Dia
memukul tubuh istrinya. Kemudian Habibah melaporkan kepada Rasulullah (Saw) dan
memohon dengan tujuan agar suaminya dihukumi dengan qishash. Sebelum mereka
melakukan qishash, datang ayat. Kemudian, konteks dari surat tersebut adalah
untuk masalah keluarga atau masalah domestik bukan untuk dibuka dipublik. Ayat
tersebut berkenaan dengan masalah rumah tangga telah disimpulkan secara umum.
Sehingga hak wanita untuk isu yang lain telah dihilangkan.
Kedua,
hadist: lan yaflaha qaumun wallau amrahum
imra’atan. Berdasarkan laporan dari Bukhari dan Ahmad Ibnu Hambali, hal ini
dikenal dengan sumber dari hadist adalah Abi Bakrah. Ibn Atsir berkata bahwa
hadist ini adalah lemah, karena sanadnya telah cacat. Jika hadist ini sahih
sebagaimana pendapat Ibnu Hajar Al-Astqalani, Hadist ini harus
diinterpretasikan secara kontekstual. Berdasarkan sejarah, hadist datang kepada
Buwaran dari Kisra Persia yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja.
Secara faktanya, hal ini dipercaya bahwa dia tidak kredibel dan begitu
lemahnya. Orang-orang begitu khawatir tentang kemampuan dia yang mengakibatkan
pengaruh pada politik. Kemudian, hadist ini merupakan hal yang kasuistik.
Demikianlah, menolak hak wanita dalam ranah politik sebagai pemimpin
berdasarkan perspektif islam tidak didefinisikan secara terinci.
Pemilihan
kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi
dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh
Islam.
Didalam
Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan politik atau
agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita ini diatur
oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar. Hidup
adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk
tingkah laku dalam berpolitik.
- Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :
1)
Tidak ada Nabi dan Rasul wanita
(Nabi dan
Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala
kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi
manusia lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau
Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami
jadikan dia berupa laki-laki.” (Qs.al-An’aam 6:9)
“Kami tidak
mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu
kepadanya diantara penduduk suatu negeri.” (Qs. Yusuf 12:109)
“Kami tiada
mengutus Rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami
beri wahyu kepada mereka. “ (Qs. Al-Anbiyaa’ 21:7)
2) Imam
dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan
Imam Hanafi, Syafi’I, Hambali dan Ja’fari/ Imammiah)
3)
Laki-laki sudah ditetapkan sebagai pemimpin wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (Qs. An-Nisaa’ 4:34)
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (Qs. An-Nisaa’ 4:34)
Ayat ini memang
konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya,
seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala
negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga
lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
“Dan anak
laki-laki tidaklah sama dgn anak wanita” (Qs. Ali Imron 3:36)
4)
Hadist :
“Diriwayatkan
dari Abu Bakar, katanya : Tatkala sampai
berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persi mengangkat raja puteri Kaisar,
Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.” Diriwayatkan oleh
Bukhari, Turmudzi dan an-Nasa’i)
Hadist diatas
memang diucapkan oleh Rasul ketika menanggapi kabar dipilihnya seorang wanita,
puteri Anusyirwan dari Persi, menjadi pemimpin. Akan tetapi coba perhatikan
konteks sabda tsb tidak menyebut bahwa ucapan tsb hy berlaku bagi kerajaan
Persi, namun suatu gambaran umum tentang tidak layaknya wanita dijadikan
pemimpin dalam suatu bangsa.
Pertanyaan yg timbul …
1.
Bagaimana dgn pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal
bernama Balqis ?
Ø
Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum
dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia
ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala
negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.
2.
Apakah Islam melakukan diskriminasi terhadap perempuan
?
Ø
Islam tidak melakukan diskriminasi,
Untuk memimpin
suatu negara, orang harus benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun
resiko dan tanggung jawabnya bahkan terkadang harus rela disibukkan oleh
aktifitasnya, menghadiri rapat diberbagai kesempatan, melakukan perjalanan
dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita,
karena ia juga harus melayani suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya hak yg seimbang dgn kewajibannya
menurut cara yg benar. Tapi para suami memiliki satu tingkat kelebihan dari
istrinya.” (Qs. Al-Baqarah 2:228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab atas
kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dlm keluarganya, dan dia harus
mempertanggung jawabkan kepemimpinannya itu. Perempuan adalah pemimpin dlm
rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab thd kepemimpinannya.” (Hadist
Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah,
Nabi Saw mengikut sertakan wanita dalam medan perang, namun mereka bukan
dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan
pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah az-Zahrah
puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti
dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan
Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi
wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu As-syifa’ al-Ansyoriah
sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah (kalau sekarang ini mungkin bisa
disetarakan dengan kedudukan menteri ekonomi).Patut dicatat bahwa tugas seorang
menteri tidak seberat dan sebesar tanggung jawab tugas kepala negara. Disisi
lain, menteri tetap harus bertanggung jawab kepada pemimpinnya, yaitu presiden
(dlm istilah agamanya, isteri memiliki tanggung jawab atas kepemimpinannya
dalam rumah tangga suaminya).
Itulah contoh dan bentuk
emansipasi wanita didalam Islam.
3. Lalu
Bagaimana bila kepala negaranya wanita dan wakilnya pria ?
Ø Ini
terbalik, alQur’an dan Hadist tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri
memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
4. Lalu
Bagaimana bila suatu saat sang wakil melengserkan sipemimpin yang sebelumnya
adalah wanita ?
Ø Tetap
saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil
adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
5.
Kapan kita boleh memilih wanita sbg pemimpin ?
Ø
Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yg
mampu jadi pemimpin !
6.
Bolehkah kita Golput ?
Ø Golput
artinya tidak memilih, inipun tidak dibenarkan oleh Islam. Ali bin Abu Thalib sempat tidak setuju dgn
kepemimpinan Abu Bakar pasca kematian Nabi Muhammad. Tetapi itu diawali dgn
ketidakpuasan Fatimah az-Zahrah Istri Ali yang juga puteri kesayangan Rasul
dengan keputusan politik Abu Bakar terhadap tanah Fadak yang diklaim sebagai
warisan Nabi Saw untuk puterinya itu. Namun setelah Fatimah wafat dan dengan
pemikiran yang panjang kedepan, enam bulan sesudahnya Ali bin Abu Thalib
akhirnya memilih mengikuti kepemimpinan Abu Bakar selaku Khalifah/ kepala
negara.
Dalam hal
kepemimpinan, Islam secara tegas memberi arahan pada umatnya tentang kriteria
dan juga kewajiban untuk melaksanakan pemilihannya. Hal ini telah dinyatakan
dalam nash-nash syar’i. Nabi Muhammad Saw bersabda:
Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah
seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR. Abu Dawud dari Abu
Hurairah)
Bila untuk
sebuah rombongan kafilah saja diwajibkan pengangkatan kepemimpinan sebagai
ketua rombongan yang bertanggung jawab terhadap jemaahnya, maka apakah lagi
dalam suatu ruang lingkung kenegaraan.
- Perempuan berpolitik dilarang.
- Pernyataan al-Qur’an tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan (QS. Al-Nisa’/4:34). Laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan (QS. Al-Baqarah/2:288). Dan persaksian dua orang perempuan sebagai ganti satu orang laki-laki (QS. Al-Baqarah/2:282).
- Hadis Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang menyebutkan orang perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim).
- Sebagian kitab tafsir telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan, dialah pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya, apabila menyimpang, karena laki-laki lebih utama dari perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan. (Tafsir Ibnu Kasîr 1:1:608). Keutamaan laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah (asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal) laki-laki atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql), kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah), persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki (Sofwatul Tafâsîr 1:274).
- Kitab fiqh menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat kepala negara adalah laki-laki, demikian juga Abul al-A’la al-Maududi mengharamkan perempuan duduk dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan kepala negara.
- Bolehnya Perempuan berpolitik
1.
Pernyataan
al-Qur’an tentang orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka adalah penolong atau ahlinya sebagian
yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (Al-Qur’an surat Al-Tawbah/9:71).
Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang
memerintah mereka dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana
yang besar (al-Qur’an
surat al-Naml/27:23),
seorang
perempuan adalah Ratu Balqis yang memerintah di negeri Saba’.
2.
Hadis
“Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan” perlu
diteliti sanadnya, dan hadis tersebut termasuk hadis ahad. Kalaupun
dianggap sahih hendaknya ditempatkan pada konteks pengucapan Nabi yang
berkaitan dengan tidak mampunya Buron binti Syiwaraih
memimpin kerajaan Persia.
Lepas dari perbedaan dua pendapat tersebut, di atas,
patut dipertanyakan lagi tentang pendapat yang tidak membolehkan perempuan
berpolitik, sebab terkesan menganggap perempuan tidak mempunyai kemampuan dalam
berpolitik dan menjadi pemimpin atau memegang jabatan, padahal kalau diteliti
secara cermat dan seksama dasar dan argumennya kurang akurat.
Pada kesempatan
yang berbahagia ini, penulis akan memaparkan beberapa hal, sehingga dapat
dipahami secara tepat.
Pertama tentang surah al-Nisa’ ayat 34 :
قَوَّامُونَ
عَلَى بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِم......
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi
kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (Perempuan), karena mereka laki-laki telah
menafkahkan dari sebagian harta mereka…”
Kata الرِّجَالُ
itu umum, النِّسَاءِ juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memberikan keutamaan
kepada sebagian mereka.Keutamaan atau tafdil disini yang dimaksud adalah
laki-laki kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan.
Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di bawah
naungannya. ( Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, 4:
2202).
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn berarti
laki-laki sebagai penjaga, penanggung
jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak
demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu
tafsir dibuat yang sangat merendahkan
kedudukan kaum perempuan.
Berbeda dengan mufassir terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha
menafsirkan, antara lain:
Menurut Fazlur Rahman, laki-laki
adalah bertanggung jawab atas perempuan
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena
mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki
melainkan fungsional, artinya jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat
berdiri sendiri dan memberikan sumbangan
bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan
berkurang. (Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Quran, terj. Anas
Mahyuddin: 72)
Sedangkan
pendapat Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan
bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas
perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap
laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu selama yang
bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur’an yaitu memiliki kelebihan dan
memberikan nafkah. Ayat tersebut
tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan. (Aminah
Wadud Muhsin, Quran and Woman: 73).
Demikian juga Ashgar Ali Engineer
berpendapat bahwa qawwâmûn disebutkan sebagai pengakuan bahwa, dalam
realitas sejarah kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan
domestik dianggap sebagai kewajiban, sementara laki-laki menganggap dirinya unggul,
karena kekuasaan dan kemampuan mencari dan memberikannya kepada perempuan. Qawwâmûn
merupakan pernyataan kontektual bukan normatif, seandainya al-Qur`an
menghendaki laki-laki sebagai qawwâmûn, redaksinya akan menggunakan
pernyataan normatif, dan pasti mengikat semua perempuan dan semua keadaan,
tetapi al-Qur`an tidak menghendaki seperti itu. (Ashgar Ali Engineer, Hak-hak
perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi:.179).
Demikianlah diantara berbagai
penafsir yang tekstual dan penafsir kontemporer terhadap surat al-Nisa/4:34.
Sehingga kalau dihadapkan dengan realitas yang ada, maka yang terlihat
sekarang posisi kaum laki-laki atas
perempuan bersifat relatif tergantung pada kualitas masing-masing individu.
Kekhususan-kekhususan
yang diberikan kepada laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota
masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat
tersebut diturunkan.
Dalam
surat lain disebutkan, yaitu surat
Al-Baqarah/2: 228 :
… وللرجال
عليهن درجة…
“…Dan bagi
laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (isterinya)…”
Derajat laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan. Ayat ini berhubungan dengan masalah talak, karena laki-laki berhak menentukan
talak, meskipun perempuan juga mempunyai hak, bukan masalah politik dan
kepemimpinan.
Disamping itu kata الرجال pada ayat tersebut menurut
Nasaruddin Umar ialah “Laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu,
karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada
perempuan. Tuhan tidak mengatakan وللذكر بالمعروف عليهن درجة, karena jika demikian, maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan
lebih tinggi daripada perempuan.” (Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan
Jender Perspektif Al-Qur`ân: 149-150).
Sementara menurut
Ibn `Usfûr, para ulama membolehkan kata ال dalam الرجال
menjadi نعت
atau بيانkalau ال
menjadi بيان berarti لتعريف
الحضور menunjukkan yang datang, bukan jenis, kalau ال menjadi نعت berarti
للعهد menunjukkan pembatasan. (Jamal al-Dîn bin Hisyâm al-Ansârî, Mugnî
al-Labîb,: 49). Dari sini menjadi
jelas bahwa, laki-laki dalam surat al-Baqarah
ayat 228 berarti tidak semua
laki-laki, tetapi laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu.
Sedangkan menurut Al-Râgib
al-Asfihâniy, الرجل menunjukkan arti khusus laki-laki. Namun
dapat juga perempuan disebut رجلة apabila dalam sebagian ahwalnya menyerupai laki-laki. (Al-Râgib
al-Asfihâniy, Mu`jam Mufradât Alfâz al-Qur`ân: 194).
Jadi, ayat 34 dari surat al-Nisa` bersifat fungsional, artinya laki-laki bertanggungjawab pada
keluarga karena memberi nafaqah, artinya laki-laki yang berfungsi memberi
nafaqah. Bagaimana halnya dewasa ini yang kerja dan memberi nafaqah adalah isteri atau perempuan,
tentu lain lagi masalahnya, artinya perempuan yang ahwalnya menyerupai laki-laki, yang berfungsi menjadi laki-laki dan
memberi nafaqah, berarti perempuan yang bertanggungjawab pada keluarga, karena
kecenderungan di Indonesia dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, bahkan menunjukkan fenomena yang sangat mengejutkan. Berdasarkan hasil
pemetaan ulang yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bahwa, 60 %
perempuan Indonesia harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Melihat
kenyataan ini, Sinta Nuriah Abdurahman Wahid berkeyakinan bahwa, de fakto
sesungguhnya kaum perempuanlah yang menjadi kepala rumah tangga atau
keluarga.(Harian Kompas, Selasa, 4 Juli 2000,
h. 10, kol.5-9)
Sedangkan masalah saksi, kesaksian
dilaksanakan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang
perempuan, dalam hal kontrak keuangan, tersebut dalam al-Qur’an:
…وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ
يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ
مِنْ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا
فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى…
“…Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antara kalian.
Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridai, supaya jika seorang lupa
maka seorang lagi mengingatkannya…. (Al-Baqarah/2:282)
Kalimat “syahadah” diambil dari مشهَد
yaitu obyek yang terlihat
jelas dengan kasat mata, adapun مشهد atau obyek tidak membutuhkan kepandaian dan kecerdasan individu, tetapi
lebih sangat memerlukan kesaksian mata telanjang dan lebih ditekankan kepada
kejujuran. Berkaitan dengan hal
tersebut, derajat hamba Allah yang mendapat gelar akademis seperti M.A. atau
Dr. dengan hamba-Nya yang tidak mampu membaca dan menulis adalah sama, sehingga
dapat disimpulkan bahwa strata pendidikan seseorang tidak ada kaitannya dengan
perihal persaksian. Akhirnya kejujuran sangat urgen dalam kesaksian dan bukan
kecerdasan akal.(Al-Sya`râwî, Tafsîr al-Sya`râwî: 1215)
Pendapat al-Sya`râwî tersebut karena, ia melihat
perempuan tidak banyak yang ke luar menyaksikan sesuatu yang berhubungan
dengan keuangan, tetapi perempuan saat ini lebih banyak yang bergelut dengan
masalah kerja dan keuangan. Kalau hal ini diketahui oleh al-Sya`râwî sudah
barang tentu ia akan berpendapat lain.
Harus dicatat bahwa, ungkapan itu hanyalah bersifat anjuran,
bukan perintah wajib, terbukti bagian akhir ayat ini menjelaskan “Janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan,
(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kalian jalankan di antara kalian, maka
tidak ada dosa bagi kalian, (jika) kalian tidak menulisnya”.
Sesuatu yang
perlu diperhatikan yaitu, ayat itu
menunjukkan satu saksi laki-laki digantikan dua saksi perempuan, hanya salah
seorang di antara keduanya yang menjadi saksi, sedangkan satunya hanya
berfungsi untuk mengingatkan, apabila ia ragu, karena pada masa turunnya ayat
itu selalu ada kemungkinan saksi perempuan melakukan kesalahan dalam masalah
keuangan, bukan karena rendahnya kecerdasan, tetapi disebabkan kurang
pengalaman dalam masalah keuangan.
Pendapat Aminah Wadud bahwa, menurut susunan kata ayat ini,
kedua perempuan itu tidak disebut keduanya menjadi saksi, karena satu perempuan
ditunjuk untuk ‘mengingatkan’ satunya lagi, dia bertindak sebagai teman
kerjasama (kolaborator), meskipuan perempuan itu dua, tetapi
masing-masing berbeda fungsinya, dan spesifik untuk perjanjian finansial, tidak
dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum, atau tidak berlaku pada persoalan
lain. (Amina Wadud Muhsin, Qur`an and Woman: 85)
Jadi ayat tersebut
harus dipandang secara kontekstual, bukan normatif, karena ada 7 (tujuh) ayat
lain dalam al-Qur`an, yang menyebutkan
tentang kesaksian, tetapi tidak satupun yang menyebutkan saksi satu orang laki-laki
digantikan dua orang perempuan. Yaitu: Al-Mâidah/5:106, Al-Mâidah/5:107,
Al-Nisâ`/4:15, Al-Nûr/24:4, Al-Nûr/24:6, Al-Nûr/24:8,
Al-Talâq/65: 2.
Berdasar
ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, saksi perempuan diakui sama
dengan saksi laki-laki, tidak ada perbedaan diantaranya, khusus masalah
keuangan, kalau perempuan menyaksikannya, maka ia berhak menyaksikan sendiri,
kalaupun ada perempuan lain fungsinya hanya sebagai pengingat atau penguat.
Sejalan dengan ayat tersebut ada hadis yang seolah-olah menunjukkan
laki-laki memiliki kelebihan dibanding
perempuan.
عن عبد
الله بن عمر عن رسول الله صلىالله عليه وسلم قال...ومارايت من ناقصات عقل ودين
اغلب لذى لب منكن قا لت يارسول الله ومانقصان
العقل والدين قال اما نقصان
العقل فشهادة امراتين تعدل شهادة رجل فهذا
نقصان العقل وتمكث
الليالى ما تصلى وتفطر فى رمضان
فهذا نقصان الدين. رواه مسلم
“…Aku tidak melihat yang kekurangan akal
dan agama dari pemilik pemahaman lebih
daripada golongan kalian, perempuan itu bertanya lagi: “Wahai
Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu?”, Rasulullah saw
bersabda: “Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama
dengan penyaksian seorang laki-laki.
Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga perempuan tidak mengerjakan
sholat pada malam-malam yang dilaluinya, kemudian berbuka pada bulan Ramadan
karena haid. Maka itulah yang dikatakan kekurangan agama”.(H.R.Muslim)
(Muslim, Sahih Muslim,
2:.65. .Lihat juga Bukhari dalam kitab Sahihnya (1462) dari Abu Sa’id
al-Khudri).
Maksud kekurangan akal, kalau dihubungkan dengan kualitas persaksian,
sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka dapat saja
dipahami sebagai keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan, karena
pembatasan budaya di dalam masyarakat.
Namun sangat
disayangkan asumsi memposisikan perempuan pada titik
marjinal, perempuan kurang akalnya ini
tidak terbukti kebenarannya, karena kandungan hadis menjelaskan karakter
perempuan berdasarkan struktur fisik dan psikis menurut kodratnya sangat intens
dengan perasaan. Hal
ini bukan merupakan
kekurangan, namun sebaliknya menjadi pembeda dengan laki-laki,
dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi perempuan yang sangat sesuai dengan
tugas keperempuanan, karena fitrah perempuan memang senantiasa menggunakan
perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang lebih sedikit.
Kendati demikian, perasaan perempuan tidak bermakna ia
tidak mampu bergerak dan berpikir cepat layaknya laki-laki. Salah satu buktinya
adalah perjanjian Hudaibiyah menjadi
saksi atas kecerdasan dan ketangkasan
perempuan, orang-orang muslim di saat itu menunaikan ihram dan berduyun-duyun menuju Baitullah
al-Haram untuk melaksanakan umrah, tidak lupa mereka membawa hewan korban
untuk disembelih selepas umrah dan tawaf di sekitar Ka`bah, namun orang-orang
menghadang dan menahan langkah mereka, akhirnya pertempuran dingin ini
diselesaikan dengan sebuah perjanjian yang terkenal dengan perjanjian
Hudaibiyah.
Perjanjian ini
ditandatangani oleh Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi orang kafir Mekkah
tidak akan mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim dan penyebaran
dakwah Islam, orang-orang muslim juga tidak akan menghalangi dan menyakiti kaum
kafir Quraisy dan kerabatnya serta kaum yang berada di perlindungannya.
Adapun perempuan yang menduduki posisi
strategis dan berperan besar dalam
perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian
Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih
hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena
menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang
tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi
wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan
permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis,
dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya
yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang
menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
Pada
perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan
dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul,
akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan
memuncak.
Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu
wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada
titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau
bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah,
mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih
hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah
berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang
mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan
kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah
dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan
bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah,
kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi.
(Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336)
Demikianlah
Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan
permasalahan yang rumit. Jika pendapat perempuan diklaim sangat tidak
proporsional dan akal perempuan tidak sebanding dengan akal laki-laki, secara
implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah.
Keputusan yang diambil oleh laki-laki dan perempuan
sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sikap kesehariannya, dapat
dibandingkan solusi yang dipakai oleh kedua pihak dalam tataran praktis.
laki-laki dalam kesehariannya selalu membudayakan penggunaan akal, karena tugas
yang diemban olehnya bekerja mencari penghasilan yang menuntut keterampilan
akal tanpa campur tangan perasaan. jika seorang ayah tidak mempunyai uang
sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang kepadanya, jelas dia tidak akan
memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil berdasarkan akal. Realita akan
berkata lain jika anak meminta uang kepada ibunya, dapat dipastikan ibu mencari pinjaman guna memenuhi kebutuhan
anaknya walaupun dengan perasaan malu dan penuh deraian air mata.
Jadi nuqsân al-aql yang disebutkan dalam hadis
adalah frekuensi penggunaan akal pada perempuan sangat rendah, dalam arti
perempuan dalam skala mayoritas sering menggunakan perasaan dalam setiap
tindak-tanduknya.
Kalaupun hadis di atas difahami secara tektual, tetapi ada hadis qudsi
yang seolah-olah berlawanan dengan hadis di atas, yaitu:
عن
ابى موسى رضي الله عنه قال اتىالنبي صلىالله عليه وسلم اعرابيا قاكرمه فقال له:
ائتنا فاتاه فقال له رسول الله صلىالله عليه وسلم سل حاجتك قال ناقة تركبها واعنز
يحلبهااهلىفقال اعجزتم ان تكونوا مثل عجوز بنى اسرائيل؟ قلوا يارسول الله وما عجوز
بنى اسرائيل؟ قال ان موسى عليه السلام لما سارببنى اسرائبل من مصرضالوا الطريق
فقال ما هذا؟فقال علماؤهم يوسف عليه السلام لماحضره الموت اخذ بنيامين علينا موثقا
من الله ان لاتخرج من مصرحتى تنقل عظامه معنا قال: من يعرف موضع قبره؟ قال: عجوز
من بنى اسرائيل فبعث اليها فأتت فقال دليني على قبر يوسف فقالت حتى تعطيني حكمي
قال وماحكمك؟ قالت اكون معك فى الجنة فكره ان يعطيها ذلك فاوحىالله اليه ان اعطها
حكمها فانطلقت بهم الىبحيرة مستنقع ماء فقالت انضبوا هذا الماء فأنضبوه
انضبوا هذا الماء فأنضبوه
فقالت احتفروا فاحتفروا فاستخرجوا
عظام يوسف فلما أقلوه الى الارض فاذا الطريق
مثل ضوء النهار.
“Dari Abu Musa, ia
berkata, Nabi SAW mendatangi orang Arab gunung. Beliau memuliakannya. Lalu
beliau berkata:”Datanglah kepadaku” Maka ia mendatangi beliau. Kemudian Rasul
berkata kepadanya:”Mintalah kebutuhanmu”. Ia mengatakan:”Onta yang engkau
naiki, aku bermaksud agar keluargaku memerahnya”. Maka Rasul menjawab:”Apakah
kalian sudah lemah (tidak mampu) hingga kalian seperti perempuan bani Israil.
”Para sahabat bertanya:”Wahai Rasul, siapa perempuan bani Israil itu? Rasul
menjawab:”Sesungguhnya Musa AS ketika membawa pergi bani Israil dari Mesir,
mereka tersesat jalan.
Maka Musa
berkata:”Siapa ini?” Ulama mereka menjawab:”Yusuf AS”. Ketika ajal Yusuf tiba.
Benyamin menanggung perjanjian dengan Allah supaya kami tidak keluar dari
Mesir, sehingga kami membawa memindahkan (membawa) tulang-tulang Yusuf bersama
kami. Musa berkata:”Siapa yang mengetahui kuburan Yusuf?” Benyamin
menjawab:”Perempuan tua dari Bani Isrâîl”. Maka Musa memerintahkan (utusan)
pergi kepadanya (perempuan itu). Maka berkatalah Musa:”Tunjukkanlah aku kuburan
Yusuf!” Perempuan itu berkata:”Supaya aku bersama kamu di surga”. Maka Musa
menolak untuk memberi yang demikian kepada perempuan. Lalu Allah mewahyukan
kepada Musa supaya Musa memberi (memenuhi) permintaan perempuan itu. Maka
perempuan itu pergi bersama mereka ke danau, tempat menggenangnya air.
Perempuan itu berkata:”Kuraslah air ini!” Kemudian mereka menguras. Perempuan
itu berkata lagi:”Hendaklah kalian menggali lubang” Lalu mereka menggali
lubang. Perempuan itu berkata:”Hendaklah kalian mengeluarkan tulang-tulang
Yusuf”. Ketika mereka mengangkatnya ke atas bumi(tanah). Tiba-tiba ada jalan
seperti cahaya siang” ( Al-Imâm Abî al-Hasan Nuruddîn `Ali bin Sultan Muhammad
al-Qoriy, Al-Ahâdîs al-Qudsiyyah al-Sahihah, terj. M.Thalib: 149-151.).
Hadis ini
sebagai salah satu bukti bahwa perempuan mampu mengingat sesuatu dalam waktu
yang lama, dan ingatan itupun berhubungan dengan kecerdasan akal. Dengan
demikian, perempuan mampu menjadi saksi yang baik. mampu bertindak dan diajak
bicara memecahkan masalah, tidaklah benar kalau perempuan itu kurang akal dan
agama.
Perempuan berhak menduduki jabatan
politik, dengan syarat mentaati hukum syariat Islam, karena tidak ada teks yang
secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan ayat yang dipakai dasar surat Al-Tawbah/9:71:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَر وَيُقِيمُونَ
الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ اللَّهُ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan
melarang dari kejahatan, mendirikan salat menunaikan zakat, mereka taat patuh
kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena
sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha bijaksana”.
Dalam tafsir Al-Sya`râwî, kata auliya
diartikan bahwa: “Dalam masyarakat
mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat, agar sempurna
imannya.” (Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî,: 5287). Jadi mencakup
kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
Sedangkan
"Menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar"
maksudnya, Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka mukmin yang
lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin
yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah
untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran. Jadi artinya
sesama mukmin baik laki-laki maupun perempuan harus saling mengingatkan, ada
kemungkinan posisinya menjadi pemerintah atau yang diperintah.
Demikian
juga pendapat Sayid Qutub dalam tafsirnya maksud dari amar makruf dan nahi munkar artinya “Menciptakan
kebaikan dan menolak kejelekan diperlukan pemerintahan atau kekuasaan dan
dengan tolong menolong, hal ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan”.(Sayid
Qutub, Fi Zilal al-Qur`ân: 1675).
Dengan
ayat itu menunjukkan bahwa, Laki-laki dan perempuan mempunyai hak politik, hak
kepemimpinan publik, terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang makrûf
dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk
memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Hak perempuan di bidang politik,
merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak
menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu,
tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau
laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan
tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen,
terutama di saat sekarang ini. Apalagi, dalam
konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut
secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas pada
pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa:
“Setiap partai politik
peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %”
Sementara di sisi lain ada hadis yang
dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan menjadi pemimpin atau memegang
jabatan adalah:
عن
ابى بكرة قال لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم آيام الجمل بعد ماكدت آن آلحق باصحاب الجمل فآقاتل معهم
قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه
وسلم ثم آن اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال لن
يفلح قوم
ولو امرهم امرأة رواه البخارى
“Dari
Abî Bakrah berkata: “Allah memberikan manfaat kepadaku pada hari-hari perang
Jamal, dengan satu kalimat yang saya dengar dari Rasul SAW setelah aku hampir
saja bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah
berkata: “Ketika sampai pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah
menobatkan puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW berkata: “Tidak akan sejahtera suatu kaum
yang menyerahkan urusan (pemerintahannya) kepada perempuan”. (H.R.Bukhari).)Muhammad bin Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhâri,juz 4:1610)
Hadis tersebut dalam tingkatan ahad tidak
mutawatir. Seandainya hadis itu dianggap mutawatir, tetapi
sabab al-wurûdnya berkenaan dengan sebab khusus yaitu merespon
kejadian tertentu yang bersifat terbatas. Rasulullah SAW mengatakannya
berkaitan dengan naiknya Puteri Kisra raja Persia sebagai pemegang
pemerintahan.
Hal itu tidak termasuk perundang-undangan yang
bersifat umum, sebab berasal dari Rasulullah dalam kapasitasnya sebagai kepala
pemerintahan dan pemimpin negara, tidak sebagai rasul.
Kalaupun hadis tersebut dianggap sebagai perundangan untuk umum, maka
maknanya secara bahasa yang tepat adalah dikuasainya seluruh urusan negara,
serta pemerintahan secara menyeluruh oleh perempuan. Ini suatu hal yang tidak
mungkin, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Hadis
tersebut memakai kata امرأة
adalah bentuk nakirah jadi perempuan yang bersifat umum, sehingga perlu
ada taqyid atau batasan, artinya
perempuan yang mempunyai kemampuan memimpin tidak menjadi masalah kalau dia
menjadi pimpinan atau memegang jabatan.
Kalau di lihat dari perawinya yaitu Abû
Bakrah, ia menggali hadis tersebut setelah kalahnya `Aisyah di perang Jamal,
yang telah terpendam 25 tahun dari ingatannya dalam situasi dan konteks yang
berbeda.(Fatima Mernisi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar
Radianti:62).
Hadis itu tidak ada sebelum perang jamal,
dimana `Aisyah isteri Nabi menjadi pimpinan pasukan yang di dalamnya banyak
sahabat mengikutinya, tidak seorangpun sahabat keberatan atas kepemimpinannya.
Bahkan Abû Bakrahpun ada, dan tidak membelot darinya. Seandainya dia yakin bahwa
Nabi melarang perempuan menjadi pemimpin, tentulah ia segera keluar dari
barisan `Aisyah, setelah ia teringat hadis di atas. Hal ini menunjukkan bahwa,
kepemimpinan perempuan dalam hal ini adalah `Aisyah diterima oleh para sahabat
terkemuka.
Bukti bahwa perempuan mempunyai
kekuatan dan kemampuan untuk memikul masalah besar adalah terdapat dalam
al-Qur`an tentang Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, tentang ibu Nabi Musa AS., dan
tentang Maryam, ibu Nabi Isa AS. Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa
perempuan dapat mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang luas, seperti
persoalan dalam suatu negara.
Demikianlah pembahasan secara kritis tentang hak
perempuan dalam politik menurut Islam. Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan untuk aktif
dalam dunia politik, demikian juga menjadi pemimpin. Sebaliknya Al-Qur’an dan
hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia
tersebut. Jadi Islam memberikan peran terhadap perempuan untuk berpolitik.
21:46
|
Labels:
Ilmu Fiqh
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
agus mulyadi. Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment