Kekuasaan dan Politik
A.
HAKEKAT KEKUASAAN
1. Pengertian
Kekuasaan
Ada beberapa pandangan mengenai arti kekuasaan, di antaranya
:
- Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku.
- Menurut Ramlan Surbakti, kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.
- Menurut Gibson, kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk memperoleh sesuatu sesuai dengan cara yang dikehendaki.
- Menurut Russel, kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh, sedangkan alasan adalah penggunaan pengaruh yang sebenarnya.
Pada intinya, kekuasaan diartikan sebagai kapasitas yang
dimiliki seseorang untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku orang lain
sesuai dengan yang diinginkannya. [1]
2. Sumber
Kekuasaan
Robbins membagi sumber kekuasaan menjadi dua, yaitu
kekuasaan formal dan kekuasaan personal.
Kekuasaan formal didasarkan pada posisi individu dalam
organisasi, meliputi :
- Kekuasaan paksaan (coercive power), didasarkan pada rasa takut.
- Kekuasaan imbalan (reward power), adanya pemberian imbalan yang bermanfaat.
- Kekuasaan hukum (legitimate power), lebih luas daripada kekuasaan paksaan dan imbalan karena dapat mengendalikan sumber daya organisasi.
- Kekuasaan informasi (information power), berasal dari akses dan pengendalian atas informasi.
Berbeda dengan kekuasaan formal, kekuasaan personal tidak
didasarkan pada posisi formal individu dalam organisasi. Ada tiga dasar atau
sumber dari kekuasaan personal, yaitu :
a. Kekuasaan
pakar (expert power), didasarkan pada keahlian atau keterampilan istimewa, dan
pengetahuan.
b. Kekuasaan rujukan (referent power), didasarkan
pada identifikasi orang yang mempunyai sumber daya atau ciri pribadi yang
diinginkan orang lain.
c. Kekuasaan
kharismatik (charismatic power), merupakan perluasan dari kekuasaan rujukan
yang berasal dari kepribadian dan gaya interpersonal. [2]
3. Unsur
Kekuasaan
Kekuasaan terdiri dari tiga unsur, yaitu tujuan, cara, dan
hasil. Kekuasaan dapat digunakan untuk tujuan yang baik dan yang tidak baik.
Tujuan dari penggunaan kekuasaan biasanya akan mempengaruhi cara yang dipilih
oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan. Jika pemegang kekuasaan
memiliki tujuan yang baik, maka cara yang dipilih juga akan baik. Dan
sebaliknya, jika pemegang kekuasaan menghendaki tujuan yang tidak baik, maka
cara yang digunakan juga tidak baik, misalnya dengan mengancam.
Kemudian, unsur yang terakhir atau hasil dari kekuasaan
dapat dilihat dari jumlah individu yang dapat dikendalikan atau dipengaruhi,
dan seberapa besar pengaruh kekuasaan tersebut. Sikap pihak yang dikuasai,
turut menentukan kualitas kekuasan yang berlaku atas dirinya. Jika diterima dan
didukung, maka kekuasaan itu merupakan wibawa. Kekuasaan yang demikian tidak
banyak memerlukan paksaan (kekuatan) dalam penggunannya.[3]
B.
HAKEKAT POLITIK
1. Pengertian
Politik
Politik berasal dari Bahasa Yunani “politeia” yang berarti
kiat memimpin kota (polis). Secara prinsip, politik merupakan upaya untuk ikut
berperan serta dalam mengurus dan mengendalikan urusan masyarakat.[4]
Menurut Arsitoteles, politik adalah usaha warga negara dalam mencapai kebaikan
bersama atau kepentingan umum. Politik juga dapat diartikan sebagai proses
pembentukan kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses
pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[5]
Dari definisi yang bermacam-macam tersebut, konsep politik
dapat dibatasi menjadi :
a.
Politik
sebagai kepentingan umum
Politik merupakan suatu rangkaian
asas (prinsip), keadaan dan jalan, cara, serta alat yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu, atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai
dengan jalan, cara, dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang
kita inginkan itu. Politik dalam pengertian ini adalah tempat keseluruhan individu
atau kelompok bergerak dan masing-masing mempunyai kepentingan atau idenya
sendiri.
b.
Politik
dalam arti kebijaksanaan
Politik dalam arti kebijaksanaan
(policy) adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap
lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita, keinginan atau keadaan
yang kita kehendaki. Kebijaksanaan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil
oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan- tujuan
dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
2. Perilaku
Politik
Perilaku politik (politic behaviour) adalah perilaku yang
dilakukan oleh individu atau kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya
sebagai insan politik. Individu atau kelompok diwajibkan oleh negara untuk
melakukan hak dan kewajibannya dalam perilaku politik, contohnya :
a.
Memilih
wakil rakyat atau pemimpin
b.
Mengikuti
suatu partai politik dan lembaga atau organisasi masyarakat
c.
Ikut
serta dalam pesta politik
d.
Memberikan
kritik atau saran kepada pelaku politik
e.
Berhak
untuk menjadi pemimpin politik
f.
Berperilaku
politik sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku
Perilaku politik dapat dibedakan menjadi beberapa macam.
Robbins membedakan
perilaku politik menjadi dua :
a. Perilaku
politik sah, mengacu pada politik sehari-hari yang normal sesuai dengan
peraturan, seperti membentuk koalisi.
b. Perilaku
politik tidak sah, merupakan perilaku politik ekstrim yang melanggar peraturan
yang berlaku, misalnya melakukan sabotase.
Selain perilaku politik menurut Robbins di atas, secara umum
perilaku politik masyarakat juga dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a.
Radikal
Perilaku politik radikal, yaitu
sikap perilaku warga negara yang tidak puas terhadap keadaan yang ada serta
menginginkan perubahan yang cepat dan mendasar. Orang yang bersifat radikal
biasanya tidak mengenal kompromi dan tidak mengindahkan orang lain serta
cenderung ingin menang sendiri.
b.
Moderat
Perilaku moderat adalah perilaku
politik masyarakat yang telah cukup puas dengan keadaan yang ada dan bersedia
maju, tetapi tidak menerima sepenuhnya perubahan, apalagi perubahan yang cepat
seperti kelompok radikal.
c.
Status quo
Perilaku status quo adalah sikap
politik dari warga negara yang sudah puas dengan keadaan yang ada dan berlaku, serta berusaha
mempertahankannya.
d.
Konservatif
Perilaku konservatif adalah perilaku
politik masyarakat yang sudah puas dengan keadaan yang sudah ada dan cenderung
menolak atau menutup diri dari perubahan.
e.
Liberal
Perilaku politik liberal, yaitu
sikap perilaku politik masyarakat yang berpikir bebas dan ingin terus maju.
Kaum liberal menginginkan perubahan progresif secara cepat. Perubahan yang
diinginkan berdasarkan hukum atau kekuatan legal untuk mencapai tujuan.
C. Hubungan
Kekuasaan dan Politik
Ramlan Surbakti dalam bukunya yang berjudul Memahami Ilmu
Politik, menyebutkan bahwa kekuasaan merupakan konsep yang berkaitan dengan
perilaku. Kekuasaan dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat dalam proses
politik. Dalam kamus ilmu politik terdapat beberapa konsep yang berkaitan
dengan kekuasaan (power), seperti influence (pengaruh), persuasion (persuasi),
force (kekuatan), coercion (kekerasan) dan lain sebagainya. [6]
Influence adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain
agar mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela. Persuasion adalah
kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu.
Force adalah penggunaan tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan, menimbulkan
rasa sakit ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan biologis pihak lain agar
melakukan sesuatu. Pengertian coercion adalah peragaan kekuasaan atau ancaman
dan paksaan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok terhadap pihak lain
agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak pemilik kekuasaan.
Dari konsep di atas, kekuasaan politik dapat dirumuskan
sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu
menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya. Bila
seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa mengorganisasi
sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya membuat aturan yang
melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara, maka mereka mempunyai
kekuasaan politik.
Variasi yang dekat dari kekuasaan politik adalah kewenangan
(authority), kemampuan untuk membuat orang lain melakukan suatu hal dengan
dasar hukum atau mandat yang diperoleh dari suatu kuasa. Seorang polisi yang
bisa menghentikan mobil di jalan, tidak berarti dia memiliki kekuasaan, tetapi
dia memiliki kewenangan yang diperolehnya dari UU Lalu Lintas. Sehingga, bila
seorang pemegang kewenangan melaksankan kewenangannya tidak sesuai dengan
mandat peraturan yang ia jalankan, maka dia telah menyalahgunakan wewenangnya,
dan untuk itu dia bisa dituntut dan dikenakan sanksi.
Hasrat untuk memiliki kekuasaan merupakan keadaan alamiah
manusia, persis seperti yang dimaksudkan oleh Sartre dan Nietsche. Bagi Sartre,
kebutuhan dasar manusia adalah dianggap penting dan dihargai. Sementara bagi
Nietsche, manusia pada dasarnya selalu didorong oleh hasrat untuk menjadi
manusia super, manusia yang berkuasa. Dalam konteks kedudukan politik, boleh
jadi hasrat manusia alamiah inilah yang mendorong seseorang mengejar kekuasaan politik.
Menurut Lord Acton, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti
korup. Hal itu sudah diketahui banyak orang, khususnya yang memperhatikan
praktik kekuasaan atau politik, baik di pemerintahan, korporasi, maupun
organisasi kemasyarakatan
Di sisi lain, karena politik berusaha mengurus dan
mengendalikan urusan masyarakat, politik juga dapat dijadikan sarana untuk
menyampaikan kebaikan dan kebenaran kepada masyarakat luas. Namun, yang terjadi
justru sebaliknya. Orang-orang yang melalui proses politik sekaligus diberi
amanah untuk bekerja untuk rakyat malah menjadi orang pertama yang mengkhianati
amanah itu, dengan mengedepankan kepentingan pribadi dan golongannya sendiri di
atas kepentingan rakyat. Jadi, sebenarnya orang-orang yang bekerja dalam orbit
politiklah, dan bukan politik itu sendiri, yang telah membuat stigma dan label
bahwa politik selalu berorientasi pada kekuasaan.
[1] Marihot Tua Efendi, perilaku
organisasi, Bandung: UNPARPress, 2005 hal.191
[2] Ibid hal 192
[3] Davids Keith dan John Newstrom. 1993. Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga 119
[4] http://www.scribd.com/doc/24033727/Kekuasaan-Dan-Politik/20-10-10
[5] Ibid hal 124
[6] http://rinoan.staff.uns.ac.id/files/2009/06/kekuasaan-politik.
12:12
|
Labels:
MANAJEMEN
|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
agus mulyadi. Powered by Blogger.
0 comments:
Post a Comment